Powered by Blogger.
RSS
Container Icon

Coretan yang terserak

Tadi pagi ga tau kenapa tiba-tiba jadi ingat dengan cerita anak yang pernah aku buat dan aku ikutkan di milis Sastra Pembebasan, bangga juga sih bisa jadi number 1 di apresiasai cerita anak meskipun hanya dalam milis ...hehe.
Hanya ingin berbagi cerita saja, klise memang ... endingnya mudah ditebak, namanya juga cerita anak, harus happy ending donk :D

Ini dia ceritanya, selamat membaca ;)

RIDHO dan RIFA


Masih di sudut gang seperti biasa, menunggu dan terus menunggu, entah sudah berapa jam gadis kecil dengan baju lusuhnya duduk di sudut gang sempit itu. Sesekali dia mengusap dahinya yang dibasahi peluh, dengan mata beningnya dia terus menatap ke arah jalan raya. Ini sudah lewat dari waktu anak-anak SD pulang sekolah, tapi suasana jalanan tak pernah lengang sebelum malam menjemput. Gadis kecil itu tiba-tiba berdiri dan berlari menyongsong seseorang yang kelihatannya sedari tadi ditunggunya.
“Baaaannggg … !!!” sambut gadis kecil tadi riang, dengan langkah-langkah pendeknya dia berlari ke arah kakaknya yang berumur 10 tahun, 4 tahun lebih tua dari gadis kecil tadi.
“Rifa, ayo kita nyari tempat buat makan, Abang punya nasi bungkus nih, kamu pasti sudah lapar sekali nunggu dari tadi di sini,” Ridho langsung meraih pergelangan tangan Rifa yang tergenggam di telapak tangannya begitu kurus. Dengan wajahnya yang makin sumringah Rifa berlari-lari kecil untuk mengimbangi langkah-langkah cepat kakaknya. Tak ada yang memperhatikan tingkah kedua anak kecil itu, semua orang sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, sibuk dengan dunianya masing-masing. Dua anak malang yang harus menjalani masa kecilnya dengan memeras keringat sendiri, mencari sesuap nasi untuk menyambung hidup mereka, kehidupan yang serba susah dalam kerasnya kota besar itu membuat mereka lebih berpikir dewasa daripada anak seumuran mereka.
Seperti biasa mereka langsung menuju ke mushola di kawasan kumuh itu untuk menghabiskan makanan yang baru didapatkan Ridho, entah apa yang ada di pikiran mereka untuk kehidupan selanjutnya, bagi mereka yang penting adalah saat ini mereka bisa makan berarti mereka masih bisa meneruskan nafas sampai entah kapan. Selesai makan Ridho merebahkan tubuhnya di teras mushola, Rifa beranjak membuang bungkus makanan dan mencuci tangannya. Kemudian kembali ke tempat abangnya ikut-ikutan merebahkan diri di teras.
“Abang …Rifa tadi liat anak-anak yang pulang sekolah pake baju sama semua, bagus deh Bang bajunya,” Rifa mulai berceloteh, karena sejak tadi pagi ditinggal sendirian di sudut gang dekat SD Harapan Bunda.
“Itu namanya baju seragam,” sahut Ridho sambil tetap memejamkan mata.
“Terus … mereka juga bawa tas lucu-lucu deh Bang, Rifa juga pingin punya tas yang lucu,”
“Kamu punya tas buat apa? Kamu kan gak sekolah, nanti saja kalau Abang punya uang kamu bisa sekolah, trus Abang beliin tas," hibur Ridho, dia sendiri juga gak tau kenapa mengatakan itu pada adiknya, untuk membeli makan setiap harinya saja sudah susah, bisa makan sudah untung-untungan, gimana bisa beli tas apalagi menyekolahkan Rifa.
"Tasnya yang lucu Bang yaa … yang ada gambar bonekanya, yang warnanya merah muda ya Bang," angan-angan Rifa sudah kemana-mana membayangkan dia bisa bermain dengan anak-anak SD yang lain, memakai seragam seperti mereka, makan es krim yang suka mangkal di depan sekolah, Rifa senyum-senyum sendiri membayangkan abangnya pasti memenuhi janjinya.
Semilir angin membuai Ridho yang sedang kecapekan dan membuatnya tertidur dalam waktu yang tidak lama. Tak seberapa lama khayalan Rifa juga mulai menghilang tergantikan dengan kegelapan yang membawanya ke alam mimpi, dalam mimpinya tak jauh beda dengan khayalannya. Berlari-lari di halaman sekolah dengan seragam barunya dan teman-teman sekolahnya.

***

Setiap malam Ridho pergi ke warung-warung tenda untuk menawarkan jasa semirnya, kalau malam biasanya Rifa ikut dengan abangnya, katanya sih takut kalau harus nunggu abangnya sendirian. Lagian kalau malam Ridho tidurnya juga tidak pernah tetap, di mana ada tempat yang bisa mereka pakai untuk tidur ya di situlah mereka melepas lelah malam itu.
Ridho masih sibuk menawarkan jasanya dari orang ke orang, tapi tak seorangpun yang mau menyemirkan sepatu atau sandalnya. Mungkin ada beberapa orang yang merasa iba dan memberikan uang receh tanpa minta disemir sepatunya.
“Bang .... Rifa dikasih duit seribu sama ibu yang itu,” kata Rifa senang sambil menyerahkan uangnya ke Ridho.
“Kamu simpan aja, itu kan duit kamu Fa, dikumpulin aja biar bisa buat beli tas,” jawab Ridho yang membuat Rifa langsung memasukkan uang itu ke saku roknya.
Waktu beranjak semakin malam, seiring dengan lelah dan kantuk yang semakin terasa, akhirnya mereka memutuskan berhenti di teras toko yang baru saja ditutup.
“Malam ini cuman dapat dikit ..., tapi cukuplah kalau buat sarapan besok," ucap Ridho lirih sambil menghitung recehan yang berhasil dikantonginya malam ini.
“Kalau gak cukup pake duitnya Rifa aja Bang,” timpal Rifa yang mulai menggelar koran untuk alas tidur mereka.
“Gak usah, uang Abang masih cukup kok, udah sana kamu tidur, besok harus bangun pagi kalau tidak ingin diomeli sama yang punya toko.”
Rifa segera merebahkan tubuhnya setelah selesai menggelarkan koran untuk Ridho.

***

Pagi ini seperti pagi-pagi sebelumnya Rifa menunggu abangnya di dekat SD Harapan Bunda, berdiri di luar pagar dan memandangi anak-anak yang lagi asyik bermain dan berlari-larian sudah menjadi rutinitasnya setiap pagi sebelum akhirnya harus menunggu abangnya di sudut gang karena anak-anak SD itu sudah pada pulang.
Dan seperti hari-hari sebelumnya juga Rifa menunggu kakaknya di sudut gang kecil, sambil duduk di sebuah bangku yang mulai reyot termakan panas dan hujan. Jam satu sudah lewat, biasanya Ridho sudah datang, kalau belum datang berarti duit untuk beli makan masih kurang. Paling telat biasanya Rifa menunggu sampai jam tiga, tapi peduli apa Rifa dengan jam, toh dia tak mengerti sama sekali dengan aturan jam. Yang dia tau sekarang sudah mulai sore dan abangnya belum juga menampakkan batang hidungnya. Rifa mulai gelisah karena lapar dan khawatir, gadis kecil yang sudah hidup berdua saja dengan kakaknya sejak umur 4 tahun itu tak beranjak sama sekali dari sudut gang itu, karena dia tau kalau abangnya pasti akan bingung mencarinya jika dia tidak ada di sana ketika abangnya kembali.
Sore mulai hilang tergantikan merahnya senja, dan senjapun sudah turun tahta tergantikan gelapnya malam. Kini, Rifa hanya bisa menangis diantara bingung dan laparnya.

***

Pagi itu ketika Ridho meninggalkan Rifa di depan SD Harapan Bunda, tak terbersit sama sekali di pikirannya jika nanti siang dia sudah tidak bisa lagi bertemu dengan adik semata wayangnya. Dengan adik yang sudah dijaganya sejak 2 tahun yang lalu, Rifalah yang membuatnya bertahan untuk menjalani hidup yang tidak bersahabat ini. Dan siang ini ketika Ridho hendak membeli makan di warung dekat ruko yang sudah menjadi langganannya karena selain murah juga sang empunya sering memberikan makanan lebih karena tau kondisi Ridho. Di lihatnya dari arah supermarket gerombolan petugas keamanan dan beberapa warga sedang berlari mengejar beberapa anak belasan tahun, mungkin ada yang seumur dia ke arah Ridho hendak membeli makan.
Ridho hanya terpaku di tempat memandangi gerombolan itu yang kian mendekat, tiba-tiba seseorang menyergapnya dari belakang dan menyeretnya. Ridho baru sadar ketika banyak orang yang berteriak “Dasar maling kurang ajar!!!”, “Masih kecil-kecil sudah mencuri!!”, “Dasar pengutil cilik!!”, “Sudah hajar saja!! Hajar!!”.
“Saya bukan pencuri Paaaakkk!!!! .....Saya bukan pencuriiii!!!!,” teriak Ridho sekuat tenaga, tapi cengkeraman lelaki itu semakin menguat. Beberapa warga yang menyaksikan tragedi itu masih mengeluarkan sumpah serapahnya, bahkan ada yang mencoba memukulnya atau melemparinya dengan batu atau apa saja yang bisa dilempar ke arah anak-anak yang tertangkap itu.
“Saya tidak ngutil!! Lepaaaaaaasssssssss!!! Saya mau beli makan buat adik saya, lepaskan saya Pak!! Lepaaaaaaaaaaassssss!!!!!!” Ridho berontak makin menjadi-jadi. Petugas itu semakin berang dengan tingkah Ridho, dan menendangnya agar diam.

***


Dan malam itu, ketika Ridho tak juga menemui Rifa, akhirnya Rifa memutuskan untuk pergi ke warung tenda yang biasanya dikunjungi Ridho dan Rifa setiap malam. Masih dengan sesenggukan Rifa menyusuri jalanan yang diterangi lampu jalanan dan lampu kendaraan. Setelah lelah mencari-cari di setiap warung tenda dan tidak mendapatkan hasil, tangis Rifa makin menjadi, dan terduduk di trotoar. Dia tak tau lagi apa yang harus dilakukannya, sekarang rasa lapar itu benar-benar telah melanda Rifa lagi, tak pernah terpikir oleh Rifa untuk membeli makanan dengan duitnya sendiri jika tidak ada abangnya. Masih sendiri, dan menangis di tepi jalan itu ...

***

Pagi keesokan harinya.
Rifa kecil membuka matanya perlahan. Apakah ini sebuah mimpi? Batinnya sambil memperhatikan ruangan di sekelilingnya. Tapi dia ingat lagi dengan abangnya, tanpa berpikir dia langsung berteriak “Bang Ridhooo!!!!!!!!”
Seorang perempuan setengah baya dengan sedikit terburu-buru masuk ke dalam kamar itu.
“Selamat pagi gadis kecil .. sudah bangun ya?” sapa wanita tersebut.
"Tante siapa ? Abang saya mana ?" Rifa mulai menangis lagi.
Kemudian wanita itu menceritakan kalau dia menemukan Rifa pingsan di trotoar, pertama dikiranya tertidur, waktu dibangunkan ternyata tidak bergerak sama sekali. Akhirnya Rifa di bawa ke RS, kemudian dibawa pulang ke rumahnya. Wanita itu ternyata seorang wanita karir yang sudah menikah dan suaminya meninggal, sekarang hidup sendiri karena belum dikaruniai seorang anak pun. Dan dia berencana untuk mengadopsi Rifa.
"Rifa mau ketemu sama Bang Ridho sekarang," rengek Rifa lagi setelah selesai mendengarkan cerita Bu Dewi – nama wanita tersebut.
"Sekarang Rifa istirahat dulu, nanti kalau sudah sembuh kita cari Bang Ridho sama-sama," bujuk Bu Dewi.
"Tante janji ya," pinta Rifa.
"Baik, tapi Rifa juga harus janji mau manggil tante …Bunda,"
"Sama-sama janji ya," Rifa sudah mulai bisa mengembangkan senyumnya.

***


Waktu berjalan terasa lambat tanpa Ridho di sisinya, Rifa masih sering mengigau menyebut nama abangnya. Bunda juga sudah mendaftarkan Rifa di sekolah dasar, seperti yang Rifa inginkan dulu akhirnya Rifa bisa sekolah di SD Harapan Bunda.
Hari, minggu, dan bulanpun berlalu. Hampir setiap ada kesempatan Rifa dan Bunda selalu berjalan-jalan untuk mencari Ridho. Dan tak pernah ada di pikiran mereka kalau Ridho sekarang sudah berada di pusat rehabilitasi anak-anak nakal. Sedangkan di sana Ridho selalu berusaha mencari kesempatan untuk melarikan diri agar bisa mencari Rifa. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana Rifa bisa menjalani hidup ini tanpa dirinya.
Akhir pekan ini, setelah mencari Ridho tanpa hasil, Rifa dan Bunda melepas lelah di ruang tengah. Seperti biasa Bunda melihat tayangan berita dan Rifa mengambil kertas gambarnya dan mulai mewarnai sambil sesekali ikutan melihat ke arah televisi.
Tiba-tiba saja Rifa berteriak dan berlari ke arah TV yang sedang menayangkan berita kriminal.
“Bang Ridhooooooo!!!!!!...Abaaaaannggg!!!!!!!!” jerit Rifa sambil memukul-mukul kaca TV.
“Rifa! Kamu kenapa sayang?” tanya Bunda kaget dan langsung bergegas ke tempat Rifa.
“Itu Bang Ridho Bunda, itu Bang Ridhoooo!!” teriak Rifa masih dengan menunjuk ke TV di mana ada kerumunan aparat keamanan yang sedang mengejar anak-anak yang berusaha melarikan diri dari pusat rehabilitasi.
“Polisi jahaaaaaaaaaatttttt!!!!!!” jerit Rifa menjadi-jadi ketika dilihatnya salah seorang polisi berusaha untuk memukul abangnya yang sudah berhasil ditangkap.
“Rifa meraung-raung sampai pembantu dan sopir Bu Dewi berlarian ke ruang tengah.
“Kenapa Bu? Ada apa?” tanya mereka tergopoh-gopoh.
“Rifa melihat abangnya di TV Pak Munir, ditangkap polisi dan dimasukkan ke pusat rehabilitasi anak-anak nakal,” jelas Bu Dewi.
“Rifa mau ke sana ...Rifa mau ke sanaaaaaaaa!!!” Rifa berusaha melepaskan diri dari pelukan Bunda.
“Iya ..iya ...kita ke sana sayang, kita jemput abangmu,” hibur Bunda, sambil memberikan isyarat pada Pak Munir sopirnya untuk menyiapkan mobil.
Dan akhirnya hari yang ditunggu-tunggu Rifa dan Ridho pun tiba. Memang tidak mudah untuk meyakinkan petugas bahwa mereka adalah keluarga Ridho. Setelah dengan lobi yang alot, Bu Dewi berhasil menemui Ridho.
Dengan berurai air mata dan tawa kebahagiaan kakak beradik itu berpelukan, dengan suara kekanak-kanakannya Rifa bercerita kalau dia sedih sekali tidak bisa bertemu Bang Ridho dan dia juga senang sudah punya Bunda dan bisa sekolah seperti yang dijanjikan Ridho.
“Abang ... sekarang Rifa udah punya seragam dan tas warna merah muda,” pamernya sambil bergelayut manja di tangan Ridho.
“Waaahh, kamu pasti senang ya ...Abang juga senang mendengarnya,” Ridho tak bisa membendung air mata harunya, memang tak terbayang anak seusia Ridho bisa bersikap sebijaksana itu, sedangkan orang yang jauh lebih tua saja belum tentu bisa menerima cobaan yang menimpanya. Kemudian didekapnya erat adik yang setiap malam menjadi mimpi-mimpinya.
“Nanti Abang pulang sama Rifa dan Bunda kan?” tanya Rifa polos.
“Abang tidak tau Fa, melihat ...kamu seperti ini saja ...Abang sudah gembira,” sahut Ridho sambil melirik ke arah Bu Dewi sejenak, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah petugas yang menjaga di dekat pintu.
“Iya, nanti Bunda akan bilang sama Pak Polisi biar Bang Ridho bisa pulang bersama kita,” Bunda menjawab kekhawatiran Ridho. Dan kebahagiaan itu pun semakin lengkap dengan janji Bunda barusan. Entah ini mimpi atau bukan, Ridho tak tau karunia apa yang sedang didapatnya sekarang. Yang dia tau, dia tidak akan tinggal di sini lagi dan bisa berkumpul dengan adik kesayangannya.
Langit hitam di luar kelihatan lebih indah dengan taburan bintang dan sinar rembulan yang menghiasi angkasa. Alam seolah-olah tau bahwa sepasang kakak adik sedang merayakan pertemuan mereka kembali dan ikut merasakan kebahagiaan yang terpancar dari mata yang sudah lama redup tertutup awan jalanan.

*** END ***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

2 comments:

nina said...

ceritanya bagus mbak ;)

Wuland said...

Makasih :)
Wah jadi semangat nulis lagi nih hehe